Berhadapan dengan pemuda emosian memang sudah beberapa kali saya alami. Berbagai macam kasus yang lumayan berat. Tapi yah ujung obrolannya ‘itu itu saja’ dan berakhir nggak penting.
Kemarin (20/1/2010) sore saya dapat kabar lewat BBM, YM, dan chat FB bahwa salah satu temen SMA saya meninggal. Memang saya tidak kenal atau lupa dengan teman saya itu. Namun seperti biasa, meskipun tak kenal, saya harus mengucapkan bela sungkawa karena sudah dikasih tahu.
Awalnya saya bingung mau mengucapkan bagaimana, sedangkan kata seorang temen yang kasih tahu berita duka itu, mereka kumpul ada di Sewan, Tangerang untuk melayat.
Namun setelah melihat namanya, sepertinya saya kenal. Terlebih melihat nama panggilannya yang akrab ditelinga. Saya pun berniat menanyakan soal nama itu. Pikiran saya pun tertuju kepada satu nama, kebetulan lelaki (sebut saja namanya ‘x’) itu berpacaran dengan adik kelas saya semasa kuliah (sebutlah namanya ‘y’).
Saya pun mengirimkan pesan singkat kepada Y untuk menayakan nomor telepon X menayakan apakah betul nama teman – yang ayahnya meninggal – yang dimaksud adalah X. Kalau benar, yah saya mau mengucapkan bela sungkawa. “Y, nomor telepon X berapa yah? Katanya ayahnya meninggal.”
Namun tak lama telepon CDMA saya berdering, saya pun mengangkatnya.
“Eby lu ada di mana sekarang? Lu apa maksudnya ngirim sms kayak gitu ke Y?…….” Begitu suara seorang lelaki dengan bertanya membabibuta dan tak sopan bernada mengancam. Rupaya lelaki itu adalah X, kekasih Y.
“Iya gue lagi di Kebon Jeruk. Ehm.. Lu anak WD (julukan sekolah SMA saya) kan, nama lu…(Saya sebutkan nama seorang temen yang ayahnya meninggal itu)…bukan?” Tanya saya dengan tenang.
Namun X tak menghiraukan pertanyaan saya, dan tidak menjawab pertanyaan. Dia terus mengeluarkan nada tinggi dengan mengajak saya bertemu di kampusnya, “mending kita ketemu aja deh di kampus kalau lu berani. Jangan ngoceh di telepon…..”
Mendengar ocehannya yang membabibuta, saya pun menutup telepon saya, karena percuma mendengar ocehan emosional. Selain itu saya memang sedang mengerjakan sesuatu saat itu. Saya tak tahu mengapa X menanggapi pertanyaan saya baik-baik saya dengan nada kasar.
Tak lama X menelepon saya lagi, namun tak saya angkat. Kira-kira 2 kali da misscall di ponsel saya. Tak lama lagi dia mengirimkan pesan siangkat, isinya menyusuh saya untuk mengangkat telepon.
Isi pesan singkat itu, “woy bencong.. Angkat lah tlp gw.. Klo lu pny nyali temuin gw di kmps skrng.. Maksud lu ap?? Jng smp gw yg nemuin lu ya.. Mlai skrng Ati2 lu dkmps..!! -(tertera nama X, namun saya samarkan)-”
Saya sedikit berfikir soal mengapa dia begitu marah dengan pesan singkat ancaman itu. Namun saya mengklarifikasi lewat pesan singkat juga, karena saya rasa susah juga berbicara dengan pemuda penuh emosional tak jelas.
Isi pesan singkat klarifikasi saya, “Gue dapet kabar dari anak WD (paramitha) dengan YM “Inalilahiwainailahirojiun,,, berita duka telah meninggal AYAHanda dr rekan kita (nama seorang temen yang ayahnya meninggal) a.k.a ”(nama panggilanya semasa SMA)” 2.11 n ips 3. td siang.. Bagi alumni yg mau layat bisa kumpul stlh magrib,, tolong kasih kabar ke rekan2 yg lainya,, thxu” Gue cuma nanya, apa bener ini nama lu? Kalau salah ya maap. Soalnya gue mengira ini nama lu. Eby”
Lalu X membalas sms saya dengan makna ancaman dan dengan kata kata kotor kembali. “Tai luh.. Liat aj ktmu di kampus.. Jng smp muka lu nongol ddpn gw.. Nama gue (Y menyebutkan namanya) bukan christian..!! Bangsat lu..!! Lu yg mulai ya bkn gw.. Liat aj lu.!!!!!”
Lalu dengan santai kembali saya balas pesannya, “ya kalau gue salah, maap yah.” Namun dia terus tak mengerti apa yang sedang terjadi, dia pun mengira saya membercandainya dengan menanyakan atau klarifikasi kabar duka. “Jng prnh lu bcanda pke bw2 klrga gw.. Ngrti ga lu njing..!! Tai lu..!!” Begitu pesannya.
Saya kembali santai membalas, “maap ya, trims”. “Tai luh..!!” Begitu balasan pesan terakhirnya.
Saya tak kaget dengan tingkah mahasiswa itu yang emosional. Saya tak mengindahkan tawarannya untuk datang ke kampusnya karena ya memang masalahnya cuma salah paham. Dan saya sudah jelaskan maksud saya bertanya masalah itu. Intinya saya bertanya apakah nama anak yng dikabarkan ayahnya meninggal adalah nama dia. Lalu dia menjawab bukan, namun dengan emosional. Saya yang mencoba berfikir dewasa, tenang, dan cerdas menggap klarifikasi itu hal biasa untuk memperolah kebenaran.
Namun usut punya usut, saya menduga X cemburu dan tak suka Y, pacarnya, saya kirimkan pesan singkat. Jadi masalah pertanyaan yang saya ajukan kepada Y dijadikan alasan dan pancingan untuk mengancam-ancam saya. Namun itu sangat ironi dan bodoh, karena yah memang tidak masuk akal kalau kesal karena diklarifikasi soal ‘apakag benar nama anak itu adalah anda’… Saya ingin tertawa rasanya. Dia sampai mengajak saya berkelahi dengan alasan tak jelas (yah saya memang tak pandai berkelahi)… Hahahaha, di mana harga dirinya. Beberapa temen menyarankan saya untuk melaporkan pesan singkat dan ancaman itu kepada polisi. Tapi belum saya lakukan.
Diduga akibat cembutu buta
Catatan saya yang berjudul ‘Pemuda Emosional (Diduga) Karena Cemburu Buta’ menuai banyak pertanyaan. Khusunya bagaimana memang awal permasalahan dan hubungan saya dengan si Y, pacar lelaki yang mengancam saya tiba-tiba (yang telah disebut X). Saya akan menjelaskan bagaimana hubungan saya dengan Y.
Y adalah adik kelas saya semasa kuliah, namun memang berbeda jurusan. Keakraban kami berdasarkan ketertarikan saya dengan dunia organisasi. Kebetulan Y memimpin salah satu organisasi di jurusannya. Saya suka berdiskusi soal organisasi dan politik kampus.
Obrolan itu berlanjut mulai kepada obrolan pribadi seputar dunia kerja saya dan pergaulan Y di kampusnya. Sangat menarik berbincang denganY, kami pun sudah nyaman dengan situasi diskusi seputar politik kampus dan pribadi.
Belakangan saya mendengar selentingan kabar kalau Y menaruh hati pada saya. Namu itu saya anggap sebagai angin lalu saja. Banyak hal yang saya tak sukai dan tak cocok darinya. Terutama soal kebiasaan merokoknya.
Namun sebagai temen, saya tak merasa risih dengan hal itu. Tapi beberapa kali saya menyuruhnya berhenti menjadi ‘kereta api’. Itu kami anggap sebagai komedi saja. Hubungan kami sangat baik sekali.
Namun tiba-tiba saja semua jauh, entah kenapa saya tak mengerti. Kami jadi jarang berhubungan lagi, bahkan SMS sekalipun. Namun tak saya ambil pusing.
Beberapa lama kemudian Y mengaku sudah berpacaran dengan X. Saya pun senang, dan semenjak itu memang entah tak lagi berhubungan. Padahal saya sama sekali tak menyimpan maksud apapun. Tujuan saya cuma ingin berdikusi soal keadaan kampus, dan tentunya berhubungan baik sebagai teman.
Beberapa lama lagi tiba-tiba Y menghubungi saya kalau hubungan dirinya dengan X sedang terguncang. Lewat pesan singkat Y banyak cerita soal sifat kekanak-kanakan X. “Aku nggak tega mau mutusin dia,” begitu kata Y di pesan singkat. Saya tak banyak bicara soal goncangannya, hanya saja saya menyarankan Y untuk berfikir jernih dalam masalah itu. Selesai sampai di situ.
Tak lama saya melihat status facebook Y sudah berpacaran dengan X. Saya senyum dan senang, Y sudah memutuskan apa yang terbaik. Setelah itu hubungan kami pun membaik lagi, saya sering berbalas komentar di facebook.
Gelagat aneh mulai tercium oleh saya. Y terkesan kaku dalam berbahasa di facebook. Sepertinya ada yang menekannya, namun kembali saya tak memusingkannya. Cuek saja. Namun lama-lama setiap saya komentar, pasti X ikut membalas dengan makna sinis. Yah sudah, saya pun merasa dituding mengganggu hubungannya. Saya langsung remove Y dari temen facebook.
Setelah itu lama tak berhubungan, munculah peristiwa ancaman yang saya ceritakan di catatan sebelumnya.
Dari situ saya menduga amaran X dikarenakan dia cemburu X berhubungan dengan saya. Padahal tak ada hubungan spesial, mungkin tak lebih dari teman biasa. Memang semakin aneh, dan saya pun mulai berfikir analis cerdas.
Latar belakang pergaulan X dari sekolah tingkat atas (SMP-SMA) saja sudah tak begitu baik. Lingkungan membetuk dirinya menjadi lelaki yang tak perduli dengan pendidikan. Hal itu ditandai dengan sampai sekarang (2010) ia belum menyelesaikan kuliahnya. Padahal dia angkatan 2004, dan temen-temennya sudah lulus sebagian.
Saya pernah mengatakan kepada Y untuk serius belajar dan tidak kebanyakan main. Memang aneh, padahal lingkungan X adalah mahasiswa yang aktif dalam organisasi yang kebanyakan peduli dengan pendidikan. Namun saya tak mau menjadi orang paling suci di sini. Saya hanya menggambarkan siapa orang yang mengajak menyelesaikan masalah dengan berkelahi.
Semua bisa menilai, seperti apa karakter itu. Dan kalau pun ancamannya saya ladeni, ya harga diri saya jatuh dengan mempersoalkan masalah kecil seakan itu akan jadi besar.
Padahal persoalan intinya adalah cemburu buta.
Hahahahahahaha. Semoga semua ini bisa menjadikan pelajaran untuk teman-teman saya. Teruslah berfikir cerdas dan sabar.