Monthly Archives: January 2010

Berlayar Kembali ke Selatan dari Utara

Standard

Sebuah babak sudah dimulai, saat angin kembali ke selatan dari utara. Saat tak ada lagi harapan yang perlu pertimbangkan, dan saat aku ingin kembali mencintai seorang perempuan sempurna. Segera aku akan menjemputnya detik ini juga!

Namun apalah daya, seakan aku sebagai pecundang yang ingin terus sendiri karena malu untuk sekedar menyapa dan mengajaknya bertukar pikiran lewat suara. Namun setidaknya aku sudah berani bertukar pikiran lewat sebuah forum pribadi, atau hanya mengunjungi setiap catatannya.

Ini terasa sungguh sulit tergambar saat beriak asmara terus berontak dalam pemikiran-pemikiran radikalku. Tuhan, sudah cukup mungkin aku bersama pemikiran-pemikiran picik soal penghianatan dan keangkuhan. Kini musim telah berlalu, kau sang pujaan harus pergi segera bersama angin, bahkan aku harap badai akan setia membawamu jauh dariku. pergilah…

kini…
Ada pelangi warnai hujanku, sang juwita dambaan jiwa, sang juwita malam, sang putri selatan… kaulah (…). Siapa sangka tiba-tiba kau menemani malamku yang penuh harapan di perjamuan jiwa. Siapa sangka keindahan itu muncul saat aku ingin terus bicara soal penghianatan, masa muda, pemberontakan, dan kejujuran. Seakan itu terus ada dan terus menyatu di setiap relung hati, aku ingin terus berlanjut.

Namun belum kita bersenggama saling berhadapan. Kita putuskan untuk menahan kerinduan yang tak akan tenggelam ke sudut pertemuan sang malaikat.

Ingin segera tepat kunyatakan soal tambatan hati, pelabuhan terakhir, dan dermaga impian itu. Namun Entah kapan ku lanjutkan perjamuan itu…

Intinya, aku sudah mulai berharap untuk mencintaimu…

Di Akhir Pertikaian Batin: Idealisme atau Perut?

Standard

Tak terasa hampir 3 tahun saya terbelengguh oleh idealisme ‘tai kucing’ – temanku yang pernah bicara itu. Namun saya sadar, pada akhirnya rakyat harus tunduk dengan pengausaha, pemerintah, dan perasaan. Semua telah aku lalui, dan rasanya tak enak, terus diasingkan oleh pemikiran dan khayalan picik. Ada kalanya saya berontak, dan akhirnya saya harus berpikir oleh keadaan yang makin susah. Saya ingin seperti burung, sudah, namun tak terbang bebas.

Keterasingan membuatku seperti kepompong yang tak akan pernah bisa menjadi kupu-kupu. Bahkan juga seperti harimau yang memakan sayuran. Saya benci dengan kedaan ini, dan saya juga suka akhir akhirnya. Akhir yang membuat saya bisa kenyang makan gado-gado di pinggir jalan. Juga minum kopi bersama Lim setiap malam.

Lim pernah berkata saat status saya sebagai mahasiswa di kampus swasta. “By, apa peran lu sebagai mahasiswa? Gue liat kampus lu sepi, nggak ada pergerakan nyata. Gue kenal beberapa orang di sana, mereka bilang tak ada ‘taring’ di mulut mahasiswa lu.” Saat itu saya maarah dengan Lim, hampir 3 hari kami absen di warung kopi (saat itu di Cileduk). Tapi akhirnya kami tertawa kembali saat mendaki Gunung Salak.

Kami banyak berbincang soal alasan Lim mengatakan hal – yang saya kira menghina kampus. Saat itu Lim juga mempunyai kegelisahan yang sama soal kampusnya – Lim anak sastra. Teman-temannya mementingkan demontrasi daripada mempelajari filsafat, ibu segala ilmu. Bahkan saat itu hanya dia yang masuk di kelas filsafat. Lim bukan anti demonstrasi, namun lebih baik berdemo pada pemikiran sendiri di kelas filsafat. Saya tak menjawab apa-apa saat itu, hanya senyum.

Saya mulai menelaah apa kata Lim, saya mulai benci dengan teriakan kosong ‘sang demonstran gadungan’ di kampus saat itu. Dan apa yang terjadi? Ternyata banyak ‘sang demonstran gadungan’ di kampus saya.

Beberapa peristiwa saya lewati, tepatnya peristiwa sang demonstran gdungan itu. Mengadaan pembuatan SIM kolektif, skandal kongres boneka, jual beli tanda tangan proposal kegiatan, korupsi dana kegiatan mahasiswa, kongkalikong pengadaan inventaris, dan banyak lagi. Bahkan kampanye terselubung di dalam institusi pendidikan. Namun saat itu tak ada yang mengerti, ehm…tepatnya pura-pura tak mengerti.

Rasanya menyesal tak lagi melihat kebobrokkan itu. Namun saya ingin mengerti dengan itu semua, sebuah tujuan saya buat. Pertama, menggiring perhatian dengan membuat opini publik. Harus ada yang memulai untuk berteriak, tentunya bukan untuk memberontak. Hanya membuat arahan dan mengingatkan apa fungsi sang intelektual muda seperti mahasiswa. Saya menulis beberapa pemikiran soal keadaan mahasiswa, khususnya di kampus saya. Intinya tak ada jiwa memberontak, hanya keinginan untuk menampilkan diri saja.

Namun giringan itu gagal karena saya sendiri. Hanya beberapa saja yang ikut, namun tak lama. Karena keburu dilamar organisasi tinggi mahasiswa. Mereka pun terjebak dengan konspirasi pembelokan tujuan mahasiswa. Mereka semakin berteriak dan tak berhenti bicara “hidup mahasiswa”. Empat tahun menjadi mahasiswa saya tak pernah teriak seperti itu, bahkan saat ospek atau masa orientasi. Bukannya tak mau atau tak sudi, hanya saja saat itu mahasiswa banyak yang bertopeng. Pada akhirnya semua berakhir ke pertanyaan ‘untung atau tidak?’. Saya muak, ingin teriak, “diam kau munafik!!!”

Suatu kali saya duduk di kursi yang saya anggap sebagai ‘kursi kotor’. Namun memang benar anggapan saya, berhubungan uang dan bagaimana menghabiskannya. Saya muak dan seperti orang bodoh dalam pengendali sang demonstran gila. Akhirnya larilah saya!

Dalam perjalanan, memang banyak kejanggalan. Pemikiran bodoh, picik, dan kapitalisme terus mengiringi kerja saya. Namun itu semua memberikan nilai positif pada pemikiran saya. Ternyata begitulah pemikiran mereka, sangat birokratif. Tapi seru, ada yang adu mulut, sampai adu ‘hinaan’.

Begitu juga dalam soal demontrasi, mereka seolah menjadi orang yang paling suci. Menghina kebijakan pemerintah, menentang perintah pemerintah, bahkan kadang bersikap apatis dengan prestasi pemerintah. Namun saya tutup telinga dalam aksi mereka. Itu hanya simbol keberadaan kaum intelektual seperti mahasiswa. Padahal mereka tak lebih sebagai boneka. Namun kata seorang teman yang duduk di Senat mengaku mengikuti beberapa kali konsolidasi dengan kampus lain. Katanya kacau, dan terlalu banyak pakai ‘kosmetik’ para mahasiwa di sana. Saya hanya senyum, mungkin karena sudah tahu sebelumnya.

Di luar saya dan teman-teman lain seperti pahlawan, namun tidak di ‘kandang’. Kami terhimpit kesulitan membayar kuliah, bahkan sistem yang kami hadapi begitu rumit. Banyak kegiatan kami yang terhambat karena mempunyai ‘Tuhan’ sebuah sistem kapitalisme. Sudah tahu keadaan seperti itu, tak tergerak mereka yang berada di atas. Malah lontaran kata-kata kosong terus melantun. Student goverment, Tri Dharma Perguruan Tinggi, AD/ART, bahkan memo tak berhenti bergaung di kuping saya. Mereka tak menyadari dengapa yang terjadi, mungkin mereka sengaja tak ingin tahu karena sudah mendapat ‘pengawalan’ khusus dari sang kapitalis.

Awas!!! Psikopatkah Teman Anda?

Standard

Belajar dari beberapa kali tertimpa permasalahan ‘tak jelas’. Saya mencoba mencari tahu soal gejala sosial itu, terutama soal menghadapi seseorang (khususnya anak muda) yang sulit diajak bicara baik-baik.

Hasil diskusi dengan beberapa teman, menduga kasus yang saya catat dalam catatan di celoteh-eby.blogdetik.com ( http://celoteh-eby.blogdetik.com/2010/01/23/emosional-sang-pecemburu-buta-bersedia-ribut-karena-hal-kecil-mungkin-karena-cintaversi-lengkap/ ) diduga hal tersebut menunjukkan gejala psikopat. Hal ini diperkuat dengan penyelusuran saya ke beberapa teman soal dirinya.

Setelah itu saya coba mencari ciri-ciri bagaimana seseorang bisa dikatakan mempunyai gejala psikopat. Inilah cirinya:

1. Sering berbohong, fasih dan dangkal. Psikopat seringkali pandai melucu dan pintar bicara, secara khas berusaha tampil dengan pengetahuan di bidang sosiologi, psikiatri, kedokteran, psikologi, filsafat, puisi, sastra, dan lain-lain. Seringkali pandai mengarang cerita yang membuatnya positif, dan bila ketahuan berbohong mereka tak peduli dan akan menutupinya dengan mengarang kebohongan lainnya dan mengolahnya seakan-akan itu fakta.

2. Egosentris dan menganggap dirinya hebat. Tidak punya rasa sesal dan rasa bersalah. Meski kadang psikopat mengakui perbuatannya namun ia sangat meremehkan atau menyangkal akibat tindakannya dan tidak memiliki alasan untuk peduli.

3. Senang melakukan pelanggaran dan bermasalah perilaku di masa kecil. Sikap antisosial di usia dewasa.

4. Kurang empati. Bagi psikopat memotong kepala ayam dan memotong kepala orang, tidak ada bedanya. Psikopat juga teguh dalam bertindak agresif, menantang nyali dan perkelahian, jam tidur larut dan sering keluar rumah.

5. Impulsif dan sulit mengendalikan diri. Untuk psikopat tidak ada waktu untuk menimbang baik-buruknya tindakan yang akan mereka lakukan dan mereka tidak peduli pada apa yang telah diperbuatnya atau memikirkan tentang masa depan. Pengidap juga mudah terpicu amarahnya akan hal-hal kecil, mudah bereaksi terhadap kekecewaan, kegagalan, kritik, dan mudah menyerang orang hanya karena hal sepele.

6. Tidak mampu bertanggung jawab dan melakukan hal-hal demi kesenangan belaka.

7. Manipulatif dan curang. Psikopat juga sering menunjukkan emosi dramatis walaupun sebenarnya mereka tidak sungguh-sungguh. Mereka juga tidak memiliki respon fisiologis yang secara normal diasosiasikan dengan rasa takut seperti tangan berkeringat, jantung berdebar, mulut kering, tegang, gemetar — bagi psikopat hal ini tidak berlaku. Karena itu psikopat seringkali disebut dengan istilah “dingin”. Hidup sebagai parasit karena memanfaatkan orang lain untuk kesenangan dan kepuasan dirinya.

Semoga bisa dijadikan pelajaran dan pengetahuan umum.

Emosional Sang Pecemburu Buta, Bersedia Ribut Karena Hal Kecil (Mungkin) Karena Cinta…(versi Lengkap)

Standard

Berhadapan dengan pemuda emosian memang sudah beberapa kali saya alami. Berbagai macam kasus yang lumayan berat. Tapi yah ujung obrolannya ‘itu itu saja’ dan berakhir nggak penting.

Kemarin (20/1/2010) sore saya dapat kabar lewat BBM, YM, dan chat FB bahwa salah satu temen SMA saya meninggal. Memang saya tidak kenal atau lupa dengan teman saya itu. Namun seperti biasa, meskipun tak kenal, saya harus mengucapkan bela sungkawa karena sudah dikasih tahu.

Awalnya saya bingung mau mengucapkan bagaimana, sedangkan kata seorang temen yang kasih tahu berita duka itu, mereka kumpul ada di Sewan, Tangerang untuk melayat.

Namun setelah melihat namanya, sepertinya saya kenal. Terlebih melihat nama panggilannya yang akrab ditelinga. Saya pun berniat menanyakan soal nama itu. Pikiran saya pun tertuju kepada satu nama, kebetulan lelaki (sebut saja namanya ‘x’) itu berpacaran dengan adik kelas saya semasa kuliah (sebutlah namanya ‘y’).

Saya pun mengirimkan pesan singkat kepada Y untuk menayakan nomor telepon X menayakan apakah betul nama teman – yang ayahnya meninggal – yang dimaksud adalah X. Kalau benar, yah saya mau mengucapkan bela sungkawa. “Y, nomor telepon X berapa yah? Katanya ayahnya meninggal.”

Namun tak lama telepon CDMA saya berdering, saya pun mengangkatnya.

“Eby lu ada di mana sekarang? Lu apa maksudnya ngirim sms kayak gitu ke Y?…….” Begitu suara seorang lelaki dengan bertanya membabibuta dan tak sopan bernada mengancam. Rupaya lelaki itu adalah X, kekasih Y.

“Iya gue lagi di Kebon Jeruk. Ehm.. Lu anak WD (julukan sekolah SMA saya) kan, nama lu…(Saya sebutkan nama seorang temen yang ayahnya meninggal itu)…bukan?” Tanya saya dengan tenang.

Namun X tak menghiraukan pertanyaan saya, dan tidak menjawab pertanyaan. Dia terus mengeluarkan nada tinggi dengan mengajak saya bertemu di kampusnya, “mending kita ketemu aja deh di kampus kalau lu berani. Jangan ngoceh di telepon…..”

Mendengar ocehannya yang membabibuta, saya pun menutup telepon saya, karena percuma mendengar ocehan emosional. Selain itu saya memang sedang mengerjakan sesuatu saat itu. Saya tak tahu mengapa X menanggapi pertanyaan saya baik-baik saya dengan nada kasar.

Tak lama X menelepon saya lagi, namun tak saya angkat. Kira-kira 2 kali da misscall di ponsel saya. Tak lama lagi dia mengirimkan pesan siangkat, isinya menyusuh saya untuk mengangkat telepon.

Isi pesan singkat itu, “woy bencong.. Angkat lah tlp gw.. Klo lu pny nyali temuin gw di kmps skrng.. Maksud lu ap?? Jng smp gw yg nemuin lu ya.. Mlai skrng Ati2 lu dkmps..!! -(tertera nama X, namun saya samarkan)-”

Saya sedikit berfikir soal mengapa dia begitu marah dengan pesan singkat ancaman itu. Namun saya mengklarifikasi lewat pesan singkat juga, karena saya rasa susah juga berbicara dengan pemuda penuh emosional tak jelas.

Isi pesan singkat klarifikasi saya, “Gue dapet kabar dari anak WD (paramitha) dengan YM “Inalilahiwainailahirojiun,,, berita duka telah meninggal AYAHanda dr rekan kita (nama seorang temen yang ayahnya meninggal) a.k.a ”(nama panggilanya semasa SMA)” 2.11 n ips 3. td siang.. Bagi alumni yg mau layat bisa kumpul stlh magrib,, tolong kasih kabar ke rekan2 yg lainya,, thxu” Gue cuma nanya, apa bener ini nama lu? Kalau salah ya maap. Soalnya gue mengira ini nama lu. Eby”

Lalu X membalas sms saya dengan makna ancaman dan dengan kata kata kotor kembali. “Tai luh.. Liat aj ktmu di kampus.. Jng smp muka lu nongol ddpn gw.. Nama gue (Y menyebutkan namanya) bukan christian..!! Bangsat lu..!! Lu yg mulai ya bkn gw.. Liat aj lu.!!!!!”

Lalu dengan santai kembali saya balas pesannya, “ya kalau gue salah, maap yah.” Namun dia terus tak mengerti apa yang sedang terjadi, dia pun mengira saya membercandainya dengan menanyakan atau klarifikasi kabar duka. “Jng prnh lu bcanda pke bw2 klrga gw.. Ngrti ga lu njing..!! Tai lu..!!” Begitu pesannya.

Saya kembali santai membalas, “maap ya, trims”. “Tai luh..!!” Begitu balasan pesan terakhirnya.

Saya tak kaget dengan tingkah mahasiswa itu yang emosional. Saya tak mengindahkan tawarannya untuk datang ke kampusnya karena ya memang masalahnya cuma salah paham. Dan saya sudah jelaskan maksud saya bertanya masalah itu. Intinya saya bertanya apakah nama anak yng dikabarkan ayahnya meninggal adalah nama dia. Lalu dia menjawab bukan, namun dengan emosional. Saya yang mencoba berfikir dewasa, tenang, dan cerdas menggap klarifikasi itu hal biasa untuk memperolah kebenaran.

Namun usut punya usut, saya menduga X cemburu dan tak suka Y, pacarnya, saya kirimkan pesan singkat. Jadi masalah pertanyaan yang saya ajukan kepada Y dijadikan alasan dan pancingan untuk mengancam-ancam saya. Namun itu sangat ironi dan bodoh, karena yah memang tidak masuk akal kalau kesal karena diklarifikasi soal ‘apakag benar nama anak itu adalah anda’… Saya ingin tertawa rasanya. Dia sampai mengajak saya berkelahi dengan alasan tak jelas (yah saya memang tak pandai berkelahi)… Hahahaha, di mana harga dirinya. Beberapa temen menyarankan saya untuk melaporkan pesan singkat dan ancaman itu kepada polisi. Tapi belum saya lakukan.

Diduga akibat cembutu buta

Catatan saya yang berjudul ‘Pemuda Emosional (Diduga) Karena Cemburu Buta’ menuai banyak pertanyaan. Khusunya bagaimana memang awal permasalahan dan hubungan saya dengan si Y, pacar lelaki yang mengancam saya tiba-tiba (yang telah disebut X). Saya akan menjelaskan bagaimana hubungan saya dengan Y.

Y adalah adik kelas saya semasa kuliah, namun memang berbeda jurusan. Keakraban kami berdasarkan ketertarikan saya dengan dunia organisasi. Kebetulan Y memimpin salah satu organisasi di jurusannya. Saya suka berdiskusi soal organisasi dan politik kampus.

Obrolan itu berlanjut mulai kepada obrolan pribadi seputar dunia kerja saya dan pergaulan Y di kampusnya. Sangat menarik berbincang denganY, kami pun sudah nyaman dengan situasi diskusi seputar politik kampus dan pribadi.

Belakangan saya mendengar selentingan kabar kalau Y menaruh hati pada saya. Namu itu saya anggap sebagai angin lalu saja. Banyak hal yang saya tak sukai dan tak cocok darinya. Terutama soal kebiasaan merokoknya.

Namun sebagai temen, saya tak merasa risih dengan hal itu. Tapi beberapa kali saya menyuruhnya berhenti menjadi ‘kereta api’. Itu kami anggap sebagai komedi saja. Hubungan kami sangat baik sekali.

Namun tiba-tiba saja semua jauh, entah kenapa saya tak mengerti. Kami jadi jarang berhubungan lagi, bahkan SMS sekalipun. Namun tak saya ambil pusing.

Beberapa lama kemudian Y mengaku sudah berpacaran dengan X. Saya pun senang, dan semenjak itu memang entah tak lagi berhubungan. Padahal saya sama sekali tak menyimpan maksud apapun. Tujuan saya cuma ingin berdikusi soal keadaan kampus, dan tentunya berhubungan baik sebagai teman.

Beberapa lama lagi tiba-tiba Y menghubungi saya kalau hubungan dirinya dengan X sedang terguncang. Lewat pesan singkat Y banyak cerita soal sifat kekanak-kanakan X. “Aku nggak tega mau mutusin dia,” begitu kata Y di pesan singkat. Saya tak banyak bicara soal goncangannya, hanya saja saya menyarankan Y untuk berfikir jernih dalam masalah itu. Selesai sampai di situ.

Tak lama saya melihat status facebook Y sudah berpacaran dengan X. Saya senyum dan senang, Y sudah memutuskan apa yang terbaik. Setelah itu hubungan kami pun membaik lagi, saya sering berbalas komentar di facebook.

Gelagat aneh mulai tercium oleh saya. Y terkesan kaku dalam berbahasa di facebook. Sepertinya ada yang menekannya, namun kembali saya tak memusingkannya. Cuek saja. Namun lama-lama setiap saya komentar, pasti X ikut membalas dengan makna sinis. Yah sudah, saya pun merasa dituding mengganggu hubungannya. Saya langsung remove Y dari temen facebook.

Setelah itu lama tak berhubungan, munculah peristiwa ancaman yang saya ceritakan di catatan sebelumnya.

Dari situ saya menduga amaran X dikarenakan dia cemburu X berhubungan dengan saya. Padahal tak ada hubungan spesial, mungkin tak lebih dari teman biasa. Memang semakin aneh, dan saya pun mulai berfikir analis cerdas.

Latar belakang pergaulan X dari sekolah tingkat atas (SMP-SMA) saja sudah tak begitu baik. Lingkungan membetuk dirinya menjadi lelaki yang tak perduli dengan pendidikan. Hal itu ditandai dengan sampai sekarang (2010) ia belum menyelesaikan kuliahnya. Padahal dia angkatan 2004, dan temen-temennya sudah lulus sebagian.

Saya pernah mengatakan kepada Y untuk serius belajar dan tidak kebanyakan main. Memang aneh, padahal lingkungan X adalah mahasiswa yang aktif dalam organisasi yang kebanyakan peduli dengan pendidikan. Namun saya tak mau menjadi orang paling suci di sini. Saya hanya menggambarkan siapa orang yang mengajak menyelesaikan masalah dengan berkelahi.

Semua bisa menilai, seperti apa karakter itu. Dan kalau pun ancamannya saya ladeni, ya harga diri saya jatuh dengan mempersoalkan masalah kecil seakan itu akan jadi besar.

Padahal persoalan intinya adalah cemburu buta.

Hahahahahahaha. Semoga semua ini bisa menjadikan pelajaran untuk teman-teman saya. Teruslah berfikir cerdas dan sabar.

Cemburu Buta dan Emosional Pemuda Labil

Standard

Catatan saya yang berjudul ‘Pemuda Emosional (Diduga) Karena Cemburu Buta’ menuai banyak pertanyaan. Khusunya bagaimana memang awal permasalahan dan hubungan saya dengan si Y, pacar lelaki yang mengancam saya tiba-tiba (yang telah disebut X). Saya akan menjelaskan bagaimana hubungan saya dengan Y.

Y adalah adik kelas saya semasa kuliah, namun memang berbeda jurusan. Keakraban kami berdasarkan ketertarikan saya dengan dunia organisasi. Kebetulan Y memimpin salah satu organisasi di jurusannya. Saya suka berdiskusi soal organisasi dan politik kampus.

Obrolan itu berlanjut mulai kepada obrolan pribadi seputar dunia kerja saya dan pergaulan Y di kampusnya. Sangat menarik berbincang denganY, kami pun sudah nyaman dengan situasi diskusi seputar politik kampus dan pribadi.

Belakangan saya mendengar selentingan kabar kalau Y menaruh hati pada saya. Dan pernah Y mengakuinya. Namu itu saya anggap sebagai angin lalu saja. Banyak hal yang saya tak sukai dan tak cocok darinya. Terutama soal kebiasaan merokoknya.

Namun sebagai temen, saya tak merasa risih dengan hal itu. Tapi beberapa kali saya menyuruhnya berhenti menjadi ‘kereta api’. Itu kami anggap sebagai komedi saja. Hubungan kami sangat baik sekali.

Namun tiba-tiba saja semua jauh, entah kenapa saya tak mengerti. Kami jadi jarang berhubungan lagi, bahkan SMS sekalipun. Namun tak saya ambil pusing.

Beberapa lama kemudian Y mengaku sudah berpacaran dengan X. Saya pun senang, dan semenjak itu memang entah tak lagi berhubungan. Padahal saya sama sekali tak menyimpan maksud apapun. Tujuan saya cuma ingin berdikusi soal keadaan kampus, dan tentunya berhubungan baik sebagai teman.

Beberapa lama lagi tiba-tiba Y menghubungi saya kalau hubungan dirinya dengan X sedang terguncang. Lewat pesan singkat Y banyak cerita soal sifat kekanak-kanakan X. “Aku nggak tega mau mutusin dia,” begitu kata Y di pesan singkat. Saya tak banyak bicara soal goncangannya, hanya saja saya menyarankan Y untuk berfikir jernih dalam masalah itu. Selesai sampai di situ.

Tak lama saya melihat status facebook Y sudah berpacaran dengan X. Saya senyum dan senang, Y sudah memutuskan apa yang terbaik. Setelah itu hubungan kami pun membaik lagi, saya sering berbalas komentar di facebook.

Gelagat aneh mulai tercium oleh saya. Y terkesan kaku dalam berbahasa di facebook. Sepertinya ada yang menekannya, namun kembali saya tak memusingkannya. Cuek saja. Namun lama-lama setiap saya komentar, pasti X ikut membalas dengan makna sinis. Yah sudah, saya pun merasa dituding mengganggu hubungannya. Saya langsung remove Y dari temen facebook.

Setelah itu lama tak berhubungan, munculah peristiwa ancaman yang saya ceritakan di catatan sebelumnya.

Dari situ saya menduga amaran X dikarenakan dia cemburu X berhubungan dengan saya. Padahal tak ada hubungan spesial, mungkin tak lebih dari teman biasa. Memang semakin aneh, dan saya pun mulai berfikir analis cerdas.

Latar belakang pergaulan X dari sekolah tingkat atas (SMP-SMA) saja sudah tak begitu baik. Lingkungan membetuk dirinya menjadi lelaki yang tak perduli dengan pendidikan. Hal itu ditandai dengan sampai sekarang (2010) ia belum menyelesaikan kuliahnya. Padahal dia angkatan 2004, dan temen-temennya sudah lulus sebagian.

Saya pernah mengatakan kepada Y untuk serius belajar dan tidak kebanyakan main. Memang aneh, padahal lingkungan X adalah mahasiswa yang aktif dalam organisasi yang kebanyakan peduli dengan pendidikan. Namun saya tak mau menjadi orang paling suci di sini. Saya hanya menggambarkan siapa orang yang mengajak menyelesaikan masalah dengan berkelahi.

Semua bisa menilai, seperti apa karakter itu. Dan kalau pun ancamannya saya ladeni, ya harga diri saya jatuh dengan mempersoalkan masalah kecil seakan itu akan jadi besar.

Padahal persoalan intinya adalah cemburu buta.

Hahahahahahaha. Semoga semua ini bisa menjadikan pelajaran untuk teman-teman saya. Teruslah berfikir cerdas dan sabar.

Pemuda Emosional (Diduga) Kerena Cemburu Buta Part 1 -Berdasarkan Kisah Nyata-

Standard

Berhadapan dengan pemuda emosian memang sudah beberapa kali saya alami. Berbagai macam kasus yang lumayan berat. Tapi yah ujung obrolannya ‘itu itu saja’ dan berakhir nggak penting.

Kemarin (20/1/2010) sore saya dapat kabar lewat BBM, YM, dan chat FB bahwa salah satu temen SMA saya meninggal. Memang saya tidak kenal atau lupa dengan teman saya itu. Namun seperti biasa, meskipun tak kenal, saya harus mengucapkan bela sungkawa karena sudah dikasih tahu.

Awalnya saya bingung mau mengucapkan bagaimana, sedangkan kata seorang temen yang kasih tahu berita duka itu, mereka kumpul ada di Sewan, Tangerang untuk melayat.

Namun setelah melihat namanya, sepertinya saya kenal. Terlebih melihat nama panggilannya yang akrab ditelinga. Saya pun berniat menanyakan soal nama itu. Pikiran saya pun tertuju kepada satu nama, kebetulan lelaki (sebut saja namanya ‘x’) itu berpacaran dengan adik kelas saya semasa kuliah (sebutlah namanya ‘y’).

Saya pun mengirimkan pesan singkat kepada Y untuk menayakan nomor telepon X menayakan apakah betul nama teman – yang ayahnya meninggal – yang dimaksud adalah X. Kalau benar, yah saya mau mengucapkan bela sungkawa. “Y, nomor telepon X berapa yah? Katanya ayahnya meninggal.”

Namun tak lama telepon CDMA saya berdering, saya pun mengangkatnya.

“Eby lu ada di mana sekarang? Lu apa maksudnya ngirim sms kayak gitu ke Y?…….” Begitu suara seorang lelaki dengan bertanya membabibuta dan tak sopan bernada mengancam. Rupaya lelaki itu adalah X, kekasih Y.

“Iya gue lagi di Kebon Jeruk. Ehm.. Lu anak WD (julukan sekolah SMA saya) kan, nama lu…(Saya sebutkan nama seorang temen yang ayahnya meninggal itu)…bukan?” Tanya saya dengan tenang.

Namun X tak menghiraukan pertanyaan saya, dan tidak menjawab pertanyaan. Dia terus mengeluarkan nada tinggi dengan mengajak saya bertemu di kampusnya, “mending kita ketemu aja deh di kampus kalau lu berani. Jangan ngoceh di telepon…..”

Mendengar ocehannya yang membabibuta, saya pun menutup telepon saya, karena percuma mendengar ocehan emosional. Selain itu saya memang sedang mengerjakan sesuatu saat itu. Saya tak tahu mengapa X menanggapi pertanyaan saya baik-baik saya dengan nada kasar.

Tak lama X menelepon saya lagi, namun tak saya angkat. Kira-kira 2 kali da misscall di ponsel saya. Tak lama lagi dia mengirimkan pesan siangkat, isinya menyusuh saya untuk mengangkat telepon.

Isi pesan singkat itu, “woy bencong.. Angkat lah tlp gw.. Klo lu pny nyali temuin gw di kmps skrng.. Maksud lu ap?? Jng smp gw yg nemuin lu ya.. Mlai skrng Ati2 lu dkmps..!! -(tertera nama X, namun saya samarkan)-”

Saya sedikit berfikir soal mengapa dia begitu marah dengan pesan singkat ancaman itu. Namun saya mengklarifikasi lewat pesan singkat juga, karena saya rasa susah juga berbicara dengan pemuda penuh emosional tak jelas.

Isi pesan singkat klarifikasi saya, “Gue dapet kabar dari anak WD (paramitha) dengan YM “Inalilahiwainailahirojiun,,, berita duka telah meninggal AYAHanda dr rekan kita (nama seorang temen yang ayahnya meninggal) a.k.a ”(nama panggilanya semasa SMA)” 2.11 n ips 3. td siang.. Bagi alumni yg mau layat bisa kumpul stlh magrib,, tolong kasih kabar ke rekan2 yg lainya,, thxu” Gue cuma nanya, apa bener ini nama lu? Kalau salah ya maap. Soalnya gue mengira ini nama lu. Eby”

Lalu X membalas sms saya dengan makna ancaman dan dengan kata kata kotor kembali. “Tai luh.. Liat aj ktmu di kampus.. Jng smp muka lu nongol ddpn gw.. Nama gue (Y menyebutkan namanya) bukan christian..!! Bangsat lu..!! Lu yg mulai ya bkn gw.. Liat aj lu.!!!!!”

Lalu dengan santai kembali saya balas pesannya, “ya kalau gue salah, maap yah.” Namun dia terus tak mengerti apa yang sedang terjadi, dia pun mengira saya membercandainya dengan menanyakan atau klarifikasi kabar duka. “Jng prnh lu bcanda pke bw2 klrga gw.. Ngrti ga lu njing..!! Tai lu..!!” Begitu pesannya.

Saya kembali santai membalas, “maap ya, trims”. “Tai luh..!!” Begitu balasan pesan terakhirnya.

Saya tak kaget dengan tingkah mahasiswa itu yang emosional. Saya tak mengindahkan tawarannya untuk datang ke kampusnya karena ya memang masalahnya cuma salah paham. Dan saya sudah jelaskan maksud saya bertanya masalah itu. Intinya saya bertanya apakah nama anak yng dikabarkan ayahnya meninggal adalah nama dia. Lalu dia menjawab bukan, namun dengan emosional. Saya yang mencoba berfikir dewasa, tenang, dan cerdas menggap klarifikasi itu hal biasa untuk memperolah kebenaran.

Namun usut punya usut, saya menduga X cemburu dan tak suka Y, pacarnya, saya kirimkan pesan singkat. Jadi masalah pertanyaan yang saya ajukan kepada Y dijadikan alasan dan pancingan untuk mengancam-ancam saya. Namun itu sangat ironi dan bodoh, karena yah memang tidak masuk akal kalau kesal karena diklarifikasi soal ‘apakag benar nama anak itu adalah anda’… Saya ingin tertawa rasanya. Dia sampai mengajak saya berkelahi dengan alasan tak jelas (yah saya memang tak pandai berkelahi)… Hahahaha, di mana harga dirinya.

Bersambung…..

Bercerita Khayalan Dengan Teman Semasa Kuliah

Standard

Obrolah ‘bodoh’ di antara temen-teman saya semasa kuliah sering terjadi. Banyak khayalan yang kami ciptakan, semata-mata melepas pengat setelah 5 hari jadi ‘budak kapitalis’. Obrolan itu tak jauh dari mancari pendamping, pernikahan, dan apa jadinya kalau kami punya anak nanti.

Soal mencari pendamping, kami sudah jenuh dengan ‘cerita cinta’, ujung-ujungnya putus dan sakit hati. Kisah cinta kami semasa kuliah memang indah dan diingat sampai sekarang. Bagaimana saat itu kami menjadi ‘orang sudah’ dan tak punya banyak uang untuk pacaran. Tapi akhirnya berakhir begitu saja dengan alasan berbagai macam. Ada yang dituding selingkuh, ada yng ditinggal menikah, dan ada juga yang diselingkuhi oleh sang perempuan. Tapi ya sudahlah, kalau pun berharap semua kembali, pasti “ya”. Namun kami berfikir realistis, bahwa perempuan bukan segalanya.

Di antara kami sudah berubah, tak lagi melow seperti dulu. Namun bukan berarti kami tak romantis, hahahaha saya bercanda! Intinya kami sedang mencari cinta itu, cinta yang kelak akan berakhir di singgasanah pelaminan.

Soal perkawinan, kebanyakan dari kami adalah lulusan Ilmu Komunikasi, dan kami sudah akrab dengan alat-alat ‘syuting’. Jadi dalam pernikahan nanti kami ingin bergantian dalam urusan dokumentasi. Yah, untuk menghemat budget. Seru sekali, ditambah kelak kami akan membuat piala bergilir. Dalam piala itu akan dituliskan ‘Akhirnya Berhasil Menjebak’. Maksud ‘Menjebak’, kami sekalu memakai kata-kata itu ketika berhasil menggaet pasangan. Memang terkesan negatif, artinya terjebak dalam akal bulus kami. Namun akal bulus yang dimaksud tak negatif, melainkan sudah segala upaya untuk mendapatkan sang pendamping hidup.

Soal mempunyai anak, khayalan ini lebih seru. Kami bercanda kelak anak-anak kami akan dibatasi pergaulannya, terutama di lingkungan kami. Misalnya anak saya, “Soe (nama anak saya), kamu jangan bergaul sama Lennon (anak sidiq), bapaknya dulu penjahat.” Kami terbahak-bahak mendengar cerita itu. Hanya konotasi saja. Namun tentunya kami berharap anak-anak kami akan akrab seperi bapak-bapaknya di waktu muda. Atau mungkin bisa meneruskan band kami, asal jangan kuliah di tempat yang sama seperti kami. Semoga apa yang dicita-citakan terkabul, amien.

Bercerita Khayalan Dengan Teman Semasa Kuliah

Standard

Obrolah ‘bodoh’ di antara temen-teman saya semasa kuliah sering terjadi. Banyak khayalan yang kami ciptakan, semata-mata melepas pengat setelah 5 hari jadi ‘budak kapitalis’. Obrolan itu tak jauh dari mancari pendamping, pernikahan, dan apa jadinya kalau kami punya anak nanti.

Soal mencari pendamping, kami sudah jenuh dengan ‘cerita cinta’, ujung-ujungnya putus dan sakit hati. Kisah cinta kami semasa kuliah memang indah dan diingat sampai sekarang. Bagaimana saat itu kami menjadi ‘orang sudah’ dan tak punya banyak uang untuk pacaran. Tapi akhirnya berakhir begitu saja dengan alasan berbagai macam. Ada yang dituding selingkuh, ada yng ditinggal menikah, dan ada juga yang diselingkuhi oleh sang perempuan. Tapi ya sudahlah, kalau pun berharap semua kembali, pasti “ya”. Namun kami berfikir realistis, bahwa perempuan bukan segalanya.

Di antara kami sudah berubah, tak lagi melow seperti dulu. Namun bukan berarti kami tak romantis, hahahaha saya bercanda! Intinya kami sedang mencari cinta itu, cinta yang kelak akan berakhir di singgasanah pelaminan.

Soal perkawinan, kebanyakan dari kami adalah lulusan Ilmu Komunikasi, dan kami sudah akrab dengan alat-alat ‘syuting’. Jadi dalam pernikahan nanti kami ingin bergantian dalam urusan dokumentasi. Yah, untuk menghemat budget. Seru sekali, ditambah kelak kami akan membuat piala bergilir. Dalam piala itu akan dituliskan ‘Akhirnya Berhasil Menjebak’. Maksud ‘Menjebak’, kami sekalu memakai kata-kata itu ketika berhasil menggaet pasangan. Memang terkesan negatif, artinya terjebak dalam akal bulus kami. Namun akal bulus yang dimaksud tak negatif, melainkan sudah segala upaya untuk mendapatkan sang pendamping hidup.

Soal mempunyai anak, khayalan ini lebih seru. Kami bercanda kelak anak-anak kami akan dibatasi pergaulannya, terutama di lingkungan kami. Misalnya anak saya, “Soe (nama anak saya), kamu jangan bergaul sama Lennon (anak sidiq), bapaknya dulu penjahat.” Kami terbahak-bahak mendengar cerita itu. Hanya konotasi saja. Namun tentunya kami berharap anak-anak kami akan akrab seperi bapak-bapaknya di waktu muda. Atau mungkin bisa meneruskan band kami, asal jangan kuliah di tempat yang sama seperti kami. Semoga apa yang dicita-citakan terkabul, amien.