Sebagai alumnus Universitas Indonusa Esa Unggul (UIEU), saya sangat jauh dari rasa bangga. Kenapa? Semenjak semester awal (tahun 2004) hingga sekarang, saya selalu menemukan masalah. Parahnya itu semua kesalahan ada pada pihak kampus. Tapi tetap saja, mahasiswa yang harus menanggungnya.
Seperti apa yang saya alami kemarin (26/11/2006), saya berniat ingin mengambil ijazah S1 (sarjana Ilmu Komunikasi) di kampus. Seharusnya dari kemarin Ijazah saya ambil, tapi waktu saya terlalu sibuk. Ada beberapa syarat untuk mengambil ijazah, pertama tanda tangan Pembantu Dekan bidang akademik (Pudek I) untuk bukti kalau saya lulus semua mata kuliah. Kedua, Tanda tangan Kepala Perpustakaan untuk bukti kalau saya sudah memberikan sumbangan buku dan hardcover skripsi, Ketiga, tanda tangan Kepala BAUK (Biro Keuangan Kampus) sebagai bukti kalau saya sudah tak ada hutang, dan keempat tanda tangan BAA sebagai bukti kalau saya sudah memberikan foto untuk ijazah.
Ada 1 syarat yang belum saya penuhi, yaitu meminta tandatangan BAUK. Saya menemui Pak Sahrul untuk meminta tanda tangan. Tapi ternyata pria berambut dan berkumis putih itu mengatakan kalau saya belum membayar uang sidang skripsi. Saya pun terkejut, dan sempat terjadi adu mulut padahal saya sudah melunasi semua keuangan kampus. Dalam data base kampus, tercatat saya masih mempunyai hutang Rp 575.000 karena belum membayar uang sidang. Saya pun berpikir, kalau saya belum bayar uang sidang, berarti saya nggak bisa ikut sidang, lalu saya pun tidak lulus dan tidak bisa ikut wisuda. Karena persyaratan sidang pun harus memberikan bukti pembayaran. Aneh sekali, saya sudah lulus dan diwisuda Oktober 2008 ini. Sia-sia saya berdebat dengan dia, saya pun langsung dioper ke Fakultas untuk menanyai soal bukti pembayaran sidang.
Saya pun tak berlama-lama dan langsung ke Fakultas Ilmu komunikas di lantai 5 dengan menaiki tangga. Karena lift kampus yang berjumlah 2 sedang mati satu, Mahasiswa pun berjubel di depan lift. Saya menemui Pak Aris (Pudek II Fikom bid. Keuangan) yang sebelumnya harus menunggu 30 menit untuk menunggunya selesai rapat. Pak Aris menyelusuri di data base yang sama seperti apa yang dicari Pak Sahrul. Ternyata pembayaran uang sidang saya masuk ke rincian pembayaran uang semester pendek (SP) semester ganjil (semester 7). Ini mengejutkan, berarti ada kesalahan BAA dalam menginput data. Karena meskipun mahasiswa membayar uang kuliah via ATM, mahasiswa harus memberikan fotocopy struk ATM untuk dimasukkan datanya secara manual oleh pegawai BAA.
Pak Aris memberikan solusi, saya diminta menjelaskan kesalahan ini semua ke Pak Faisal (Kepala BAUK, atasan Pak Sahrul) yang ada di ruang biro SDM di lantai 5. Saya pun segera menemui Pak Faisal, dan dia memenukan kesalahan yang sama seperti apa yang disimpulkan Pak Aris. Pria berkulit gelap itu pun memberikan memo kepada bawahannya (Pak Sahrul) untuk meng-ACC form pengambilan ijaza saya. Tanpa banyak pikiran saya pun langsung kembali ke lantai 1 untuk menemui Pak Sahrul di BAA.
“Oh salah input,” begitu tanggapan dingin Pak Sahrul dan saya sangat kewa dengan tanggapan itu. Kesalahan ini jelas sekali karena buruknya sistem data base kampus yang mengklaim sebagai kampus berbasis e-learning. Akhirnya form pengambilan ijazah lengkap ditanda tangan oleh birokrasi kampus. Saya balik lagi ke lantai 5 ke ruangan biro SDM untuk menemui Bu Anis untuk mengambil ijazah.
Tapi apa yang terjadi, saya kembali menelan pil pahit dari buruknya sistem pelayanan akademik kampus. Rupanya saya harus meminta tandatangan Pembantu Dekan I bid. Akademik (Pudek I) untuk meminta tandatangan bukti kalau saya sudah menyelesaikan urusan akademik kampus seperti matakuliah. Padalah jelas sekali dalam form saya sudah ditandatangan pihak fakultas kalau saya sudah memberikan revisi skripsi. Namun Bu Anis beralasan Pudek I Fikom sudah ganti, jadi harus ditandatangan lagi kalau tidak ingin dipermasalahkan di BAA. Lagi pula apa bedanya persetujuan Pudek dulu atau sekarang, kan masih dalam satu sistem.
Pelayanan Kampus yang buruk, malah mahasiswanya yang kena batunya. Setelah saya merasa kesal dengan pelayanan kampus yang buruk itu, akhirnya saya memutuskan menunda pengambilan ijaza saya. Saya merasa dipermainkan dan dipersulit karena dibiarkan bolak balik menemui birokrat yang berkinerja buruk. Bayangkan saja, saya harus bolak balik dari BAA (lantai 1), Fakultas Fikom (Lantai 5), Ruang biro SDM (lantai 5), BAA (lantai 1), dan ruang biro SDM (lantai 5). Kalau saya melanjutinya saya harus kembali ke Fakultas Fikom (lantai 5), balik lagi ke biro SDM (lantai 5), dan ke BAA (lantai 1) untuk meminta cap kampus dan legalisir ijazah.
Padahal kalau dipikir-pikir bisa saja masalah saya diselesaikan di meja Pak Sahrul. Ia bisa memcari di dimana kesalahan data input pembayaran saya. Padahal dari awal, saya sudah memberikan argument kalau saya sudah membayar uang sidang. Tapi dia lebih memilih lepas tangan dan mengoper saya ke Fakultas. Sehingga saya harus bolak balik bertemu dengan birikkrat kampus yang tidak menyelesaikan masalah.
Masih banyak perjalanan saya untuk mengambil hak saya selama 4 tahun kuliah. Saya harus mewati birokrasi yang sangat berbelit.
Sebenarnya buruknya pelayanan Kampus UIEU bukan untuk pertama kalinya, tapi sangat sering sekali. Tapi tidak banyak mahasiswa yang berani memprotesnya, mungkin karena takut dengan pihak kampus itu sendiri.