Monthly Archives: July 2009

Kebijakan Hati

Standard

Malam bercerita soal keangkuhan hati. Kejujuran mahal harganya, dan terus terah bagai piring tak bernasi. Aku ingin lahap semua, hingga aku berhenti bercerita soal kemenangan.

“Kita generasi muda, diperlukan untuk memberantas generasi tua yang mengacu,” begitu kata teman saya perlahan berbincang.

Generasi memang harus berganti. Tintaku pun demikian . . .

Saat Coretan Itu Harus Dicoret!

Standard

Pernah atau tidak merasa bersalah seumur hidup dengan kesalahan yang tak jelas? Seorang teman mengangalami itu, sampai sekarang dia hanya bisa meratapi pemikiran-pemikiran tak jelas. Apa itu yang namanya penyesalan? Sedangkan dia tak tahu apa yang ia perbuat. Malam itu juga ia menuliskan beberapa kata.

“Mungkin aku mati saja, bingung sekali dengan kehidupan ini. Memang hidup itu misteri.”

Kata-kata itu sekarang tertulis di nisan Ray. Selamat Jalan, Ray!

Inilah Gambaran Lelaki Sejati Versi ‘Ikhwan Sejati’

Standard

Pernah ditanya apakah lelaki sejati itu? Apa syaratnya? Seperti apa wujud lelaki sejati? Saya ditanya hal tersebut oleh seorang teman. Pastinya saya bingung. Namun, dalam hati saya menjawab kalau lelaki sejati itu terlihat saat ia sedang menggendong anak.

Dalam Islam, kaum Adam disebut ikhwan. Nah inilah sosok lelaki sejati versi ‘Ikhwan Sejati’

Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari bahunya yang kekar, tapi dari kasih sayangnya pada orang di sekitarnya.

Ikhwan sejati bukanlah didengar dari suaranya yang lantang, tapi dari kelembutannya mengatakan kebenaran.

Ikhwan sejati bukanlah dihitung dari jumlah sahabatnya, tapi dari sikapnya yang bersahabat pada generasi muda sebangsanya.

Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari bagaimana dia dihormati di tempat kerjanya, tapi bagaiman dia dihormati di rumahnya.

Ikhwan sejati bukanlah dirasakan dari keras pukulannya, tapi dari sikapnya yang bijak memahami persoalan.

Ikhwan sejati bukan dilihat dari dadanya yang bidang, tapi dari hatinya.

Ikhwan sejati bukan dilihat dari banyaknya akhwat (perempuan) yang memujanya, tapi dari komitmen untuk mencintai akhwat.

Ikhwan sejati bukan dilihat dari jumlah barbel yang dibebankan, tapi dari ketabahannya menjalani hidup.

Ikhwan sejati bukan didengar dari sekeras apa dia membaca Quran, tapi bagaimana dia konsisten menjalani apa yang ia baca.

Itulah, bagaimana? Apakah Anda termasuk lelaki sejati?

Kisah Saat Kengerian Malam Itu

Standard

Saat itu aku lupa, kapan tepatnya. Di saat kampus benar-benar tak menentu. Banyak yang dipertanyakan saat itu, keidealisan mahasiswa, proses pembentukan generasi baru, aturan kampus terhadap kemahasiswaan, sampai kualitas dosen yang selalu menjadi topik isapan jempol.

Saat itu sudah malam sekali, hanya saya dan 2 orang sahabat ada di ruangan dewan. Saat itu kami kebingungan memikirkan topik apa yang harus diangkat di edisi pertama Jurnal Dewan. Soalnya banyak pihak yang tak suka jika Jurnal ini berdiri, ‘Suara Kami wanna be’ katanya. Tapi saya tak ambil pusing, jurnal terus berjalan.

Teman saya pun pulang, tinggal saya sendiri duduk di busway. Ya tak ada yang menemani, memikirkan keadaan kampus yang sebenarnya saat itu penuh dengan ketidakadilan. Mungkin hanya saya yang merasakan, karena hanya saya yang pusing.

Pelayanan kampus, topik yang saya bawa di mimbar kampus. Intinya saya menyoroti soal klaim kampus yang tak sebanding dgn julukannya. Saat itu mahasiswa harus antre jika ingin mengurus kuliahnya. Ironis sekali.

Sudah beberapa malam saya di kampus karena harus mengetik hasil penyebaran kuisioner. Hasilnya sesuai dengan dugaan saya. Mahasiswa tak puas dengan pelayanan kampus.

Hasil jurnal tersebut tentu menggegerkan birokrat, banyak yang merasa risih. Beberapa orang saya dengar di berhentikan gara-gara mengetahui pelayanan memburuk.

Malam berikutnya, saya pulang larut. Dua orang senior menghampiri saya dan tiba-tiba menyampaikan kekesalannya. Memaki, dan beberapa kali mereka menarik baju saya.

“Tulisan lu sampah banget. Emang lu siapa? Dasar anjing lu. Emang lu kira tulisan lu bagus, udah banyak yang nggak suka dari lu. Lu berhenti nulis, atau lu gue telanjangin. Lu kira gue nggak tau kejelekan lu. Awas lu ye.”

Begitu kata mereka. Saya pun hanya diam dan berfikir mungkin itu ujian. Memang tidak mudah menulis dengan hati.

Meneteskan Airmata

Standard

leo2Melihat foto profil di Facebook teman, saya menjadi terpukul dan sedikit menetekan airmata. Kenangan itu muncul kembali, di mana saat menjadi mahasiswa saya termasuk ‘si keras kepala’ yang tidak suka dengan kebijakan-kebijakan kampus. Saya akhirnya ‘sendiri’, semua teman sibuk dengan pendidikannya.

Kalau mengenang lagi, rasanya konyol dan tertawa terus. Kebanggaan yang dulu pernah ada, dibalas dengan rasa gelisah ketika menghadapi dunia nyata. Dunia yang tak gampang tertebak. Saya pun menjadi semut di sini….

Kata-kata dalam foto itu membuat saya terdiam sambil gelisah memikirkan hal yang tak jelas

Orang bilang kai bikin macet
Orang bilang teriakan kami sia-sia karena tak akan didengar
Teman-teman seusia kami lebih milih nongkrong, ngeband, dan ke mall

Tapi, idealisme itu memiliki mata hati sendiri sehingga kami tak akan membiarkan mereka (politisi busuk) tidur dengan nyenyak

Sekarang sudah lulus dan saatnya memberikan kontribusi yang kongkrit untuk bangsa ini. Dan untuk adik-adik, Lanjutkan!!!!
Kerena ketika mahasiswa berhenti turun ke jalan (apatis), maka ibarat lakon, perubahan bangsa ini kehilangan sutradaranya.

Begitu tulisan dalam foto tersebut.

Leo, adalah seorang sahabat yang belum lama saya kenal dan akrab. Kira-kira baru semester 2 saya mengenalnya. Setelah itu, Leo mulai kelihatan di beberapa diskusi maupun organisasi. Sama seperti saya, dia selalu berkata ‘tidak’ kalau melihat ketidak adilan. Bedanya, saya terlalu benci dengan organisasi kampus yang saat itu memang pro dengan kebijakan mahasiswa.

Namun itu menjadi keasyikan dan kenangan tersendiri hingga saat ini.

Dua Cangkir Kopi Hantarkan Obrolan Cerdas, Serius, dan Dewasa

Standard

Sudah lama sekali tak berbincang dengan teman semasa kuliah. Tapi Minggu malam (19/7/2009) kemarin saya bertemu mereka di kawasan Jakarta Barat. Banyak hal yang kami bicarakan tanpa terencana. Mulai membahas issu-issu politik masa kini, sejarah, TNI, kebiadaban Polisi, sampai peristiwa bom Kuningan Jumat pagi lalu. Itu sangat seru, memang obrolan agak serius biasa keluar semasa kuliah dulu. Namun tentunya diselipkan dengan candaan. Itulah yang sangat meregangkan pikiran ditengah masalah yang sedang saya hadapi.

Kami bertemu di sebuah kafe Sisha di jalan Panjang, Kebon Jeruk. Segelah kopi hitam saya pesan terlebih dahulu karena rasa ngantuk sudah mengeliat di pukul 10 malam. Tak seperti biasanya memang, biasanya saya selalu terpejam di tengah malam. Obrolan dibuka dengan menceritakan kabar masing-masing. Saya juga tentunya, saya cerita soal masa-masa bingung yang sedang saya hadapi sekarang. Leo sama, tentang pekerjaannya sebagai editor freelance Global TV. Boho cerita soal skripsinya yang belum beres. Ardo cerita soal dirinya yang sedang mencari kerja, begitu pun Bayu. Sedangkan Doger hanya banyak mendengarkan. Sangat seru sekali, sampai kopiku pun habis dan pesan coffee mix. Obrolan pun diteruskan dengan hangat dibawah tenda patung.

Tak terasa jam waktu sedah menjunjukkan jam 3 pagi hari Seninnya, kebetulan kami semua tak ada kegiatan. Kami teruskan perjalanan ke rumah Bayu, namun sebelumnya ada permasalahan tempat tujuan. Tapi rumah Bayu pun dipilih, dengan catatan kami mengobrol di teras rumah karena ada bayi di rumah itu. Tambah banyak hal yang kam bicarakan, terutama soal masa depan, gaji wartawan yang kecil, penikahan, cinta, wirausaha, sampai mebericarakan percintaan Leo dan Dedew.

Pembicaraan kisah cinta Leo denga Dedew menjadi topik utama karena berkaitan dengan semua perbincangan kami. Di antara sahabat semasa kuliah, Leo-lah yang jarang berbicara soal cinta. Bahkan urusan cinta pun ia jarang punya. Soal pacaran dengan Dedew, itu sudah menjadi wacana kami semenjak kuliah. Memang itu fakta, Leo tertarik dengan Dedew. Saya kaget saat mengetahui Leo memang sudah pacaran dengan Dedew, saya juga sekaligus senang bukan kepayang. Banyak hal yang kami bicarakan, semua sangat dewasa, cerdas, dan serius. Saya jadi semangat di tengah kebimbangan yang sedang saya hadapi. Thanks Guys, kapan kita kumpul lagi?

Teriak Belum Bisa Pergi

Standard

Pagi menyongsong semakin pagi, semakin tak jelas mau kemana. Namun semua terjawab setelah aku bersama motor tua dan arahan dari pesan singkat. Berharap dapat si baru, siapa sangka aku terlena dengan keadaan.

Pasir pun mulai berbisik, mengisyaratkanku untuk pergi. Namun hingga saat ini tak bisa. Maki demi maki teriak entah tak apa maksudnya. Saya tak tau, katanya terlalu muda untuk dipahami. Ehm . . . Tetap saja, saya adalah si bodoh. Tapi saya bukan si muka dua yang asal bicara.

Sebuah balada bening mengisyaratkan untuk menengok ke belakang. Namun aku tak mau, sampai aku terlena. Aku merasa terjebak di masa kini, di tengah hamparan pasir. Atau bahkan rerumputan yang tak ingin ternodai. Munafik sekali rumput itu, apa dia tak takut dengan si pemotong rumput liar.

Aku adalah manusia, ampuni aku, ini salahku, ini dosaku. Maaf ya Tuhan…..

Buruknya Sistem Keamanan di Jakarta

Standard

Bom lagi menghancurkan sisi ekslusif dari Jakarta. Lagi-lagi sasarannya hotel di kawasan yang sebenarnya dijaga sangat ketat. Namun sudah bosan jika mencari siapa yang mengebom. Jauh menengok ke belakang, semenjak Indonesia jadi langganan bom, tempat elit termasuk mall dijaga ketat dengan peralatan ‘anti bom’.

Namun pernahkah Anda memperhatikan tingkah laku bagaimana pihak keamanan menjaga tempat kerjanya dari gangguan bom? Tak hanya itu bagaimana juga prosedur oprasional mereka, apakah alatnya berfungsi?

Saya beberapa kali ‘mengerjai’ tim keamanan di beberapa mall Jakarta dan Tangerang. Saya kerap kali mendapat perlakuan keamanan yang berlebih dari petugas keamanan mall. Misalnya dengan memeriksa sarung ponsel yang saya genggam dengan metal detector (alat pendeteksi logam). Pastinya alat itu tangsung berbunyu kencang. Mereka pun menyuruh saya untuk mengeluarkan isi di dalam sarung HP itu. Saya bilang, “ini hape pak, ya iyalah pasti bunyi. Kan di dalamnya ada mengandung logam.” Si satpam itu pun hanya tersenyum. Namun di lain kesempatan, saya mengunjungi mall di kawasan Jakarta juga Saya masuk melewati pintu pendeteksi logam, namun anehnya tidak terjadi apa-apa. Padahal saya mengantongi kunci motor dan ponsel yang sama.

Mengapa ini bisa terjadi? Jelas, keamanan Jakarta memang sangat buruk.

Marjinalisasi Sepeda Motor Penyebab Utama Jakarta Sembrawut!!!

Standard

Membicaraan kan fasilitas umum di Jaarta memang membuat kening mengkerut. Kata yang muncul adalah kotor, berantakan, tidak nyaman, bau, mahal, copet, polusi, dan masih banyak lagi.

Satu jenis fasilitas umum yang sering saya pakai adalah tempat parkir sepeda motor. Tempat yang satu ini memang agak langka ditemui di kota besar seperti Jakarta.

Saya termasuk pengguna aktif kendaraan bermotor. Setiap harinya sulit menemukan fasitas parkir yang nyaman, aman, dan bertanggung jawab. Banyak saya temui tempat parkir yang tak nyaman dan berantakan. Tarif yang dikenakan tidak sesuai dengan jasa yang diberikan.

Kawasan Jakarta yang padat dan banyak dikunjungi adalah kawasan SCBD, Sudirman, Senayan, dan mall seperti FX.

SCBD misalnya, untuk parkir motor di kawasan perkantoran ini memang lumayan sulit. Banyak kantor besar tidak memberikan fasilitas parkir motor. Pengendara motor harus memarkir motor diarea parkir Semanggi Expo. Namun pasti bukan hanya lahan parkir yang dicari. Namun rasa aman, nyaman, dan bertanggung jawab yang dicari. Sayangnya itu tidak didapatkan. Tempat yang jauh, sembrawut, kurang aman, dan kurang bertanggungjawab didapat dengan biaya parkir yang tak sepadan. Bayangkan saja, penempatan motor yang tak rapih, jalan berbatu, dan belum lagi penjaga parkir yang tak mau tahu jika helm hilang.

Tempat lain yang menurut saya tidak jelas dalam memberikan fasilitas parkir adalah kawasan Senayan. Memasuki kawasan Senayan, anda akan dipungut biaya masuk Rp 1.000 untuk motor. katanya itu untuk biaya parkir. Namun saat masuk ke dalam anda akan kebingungan mencari lahan parkir. Kalanpun ada, akan ada petugas parkir berseragam yang memungut biaya Rp 2.000 untuk sekali parkir. Aneh memang, tapi ini kenyataan!

Mall adalah tempat publik yang sangat memarjinasisasikan sepeda motor. Bahkan tak sedikit mall di Jakarta yang tak memberikan fasilitas parkir motor di gedung. Misal mall FX di kawasan Sudirman. Mall tersebut tidak memberikan fasilitas parkir di dalam gedung, melainkan di luar yang tempatnya sangat jauh dari mall. Ini tentu menyulitkan pengunjung. Pengunjung terpaksa harus berjalan kaki jauh dengan terik dan hujan. Apa tujuannya, tapi saya yakin uang berbicara.

Kalau begitu nasib pengendara motor, bagaimana yang bermobil? Tentunya mereka diperlakukan bak seorang raja. Difasilitasi dan diberi ruang gerak yang nyaman.

Namun kenyataan ini tak lantas menguranqi pengguna motor. Tapi mungkin akan menambah pengendara mobil….

Apa jadinya Jakarta dengan bertambahnya jumlah mobil? Harus ada pembatasan gerak dan uang pun harus dibungkam agar tak bicara